KONFLIK
SAMPAH
Menurut Wikipedia, Konflik berasal
dari kata kerja Latin configere yang
berarti saling memukul. Secara sosiologis, konflik diartikan sebagai suatu
proses sosial antara dua orang atau lebih (bisa juga kelompok) dimana salah
satu pihak berusaha menyingkirkan pihak lain dengan menghancurkannya atau
membuatnya tidak berdaya.
Konflik dilatarbelakangi oleh perbedaan
ciri-ciri yang dibawa individu dalam suatu interaksi. perbedaan-perbedaan tersebut
diantaranya adalah menyangkut ciri fisik, kepandaian, pengetahuan, adat
istiadat, keyakinan, dan lain sebagainya. Dengan dibawasertanya ciri-ciri
individual dalam interaksi sosial, konflik merupakan situasi yang wajar dalam
setiap masyarakat dan tidak satu masyarakat
pun yang tidak pernah mengalami konflik antar anggotanya atau dengan kelompok
masyarakat lainnya, konflik hanya akan hilang bersamaan dengan hilangnya
masyarakat itu sendiri.
Konflik bertentangan dengan integrasi. Konflik dan Integrasi berjalan
sebagai sebuah siklus di masyarakat. Konflik yang terkontrol akan menghasilkan
integrasi. sebaliknya, integrasi yang tidak sempurna dapat menciptakan konflik.
Sedangkan pengertian sampah menurut wiipedia, merupakan material sisa yang
tidak diinginkan setelah berakhirnya suatu proses. Sampah didefinisikan oleh manusia menurut
derajat keterpakaiannya, dalam proses-proses alam sebenarnya tidak ada konsep sampah, yang ada hanya
produk-produk yang dihasilkan setelah dan selama proses alam tersebut
berlangsung. Akan tetapi karena dalam kehidupan manusia didefinisikan konsep lingkungan maka sampah dapat dibagi menurut jenis-jenisnya.
Sampah merupakan konflik yang belum ada penyelesaiannya hingga saat ini.
Sampah menyebabkan banyak banyak konflik antara masyarakat dengan pemerintah
setempat. Menurut masyarakat, pemerintah sama sekali tidak mau tau masalah
sampah yang semakin hari semakin menggunung. Padahal harusnya kita sebagai
masyarakat sadar betul akan masalah sampah. Sampah itu dihasilkan bukan hanya
dari pemerintah, melainkan masyarakat. So, sebenarnya sampah harusnya menjadi
tanggung jawab kita bersama sebagai warga masyarakat,
Masalah sampah tidak hanya terjadi di wilayah pedesaan atau pinggiran
saja melainkan juga di kota-kota besar. DKI Jakarta contohnya. Konflik
persampahan di TPST Bojong, merupakan kasus kedua. Kasus pertama terjadi di
tempat pembuangan akhir (TPA) sampah Bantargebang, Kota Bekasi, 10 Desember
2001. Selain rusuh, warga bersama Pemerintah dan DPRD Kota Bekasi melakukan
penutupan TPA Bantargebang.
Dampaknya, selama sepekan sebelum dan sesudah Idul Fitri 1412 Hijriyah, sampah tak terangkut di ibu kota negara itu. Sampah yang seharinya terhimpun 25.600 meter kubik atau setara dengan 6000 ton, menggunung ratusan ribu meter kubik. Jakarta pun bagai tertimbun sampah dengan aroma tak sedap. Penutupan TPA Bantargebang pun kembali terjadi pada awal Januari 2004.
Belajar dari kasus penutupan dan kerusuhan TPA Bantargebang, sebenarnya kerusuhan TPST Bojong sudah diperkirakan sebelumnya. Alasannya, dari berbagai anatomi yang melatarbelakanginya, memiliki kemiripan dan bahkan kesamaan.
Dalam buku yang disusun oleh Ali Anwar, Konflik Sampah Kota: Catatan Reportase Konflik Persampahan Pemerintah DKI Jakarta dengan Pemerintah Kota Bekasi dalam Menangani TPA Sampah Bantargebang (Komunitas Jurnalis Bekasi, 2003), terlihat betapa berbagai sistem dan teknologi pengolah sampah cukup ideal. Setidaknya terdapat tiga sistem, yakni dikubur (balapres), dibakar (incenerator), dan sanitary landfill (menggunakan pelapis geo tekstil).
Menurut konsepnya, semua sistem dan teknologi tersebut cukup aman dari sudut lingkungan hidup. Karya teknologi modern tersebut mulai menjadi bermasalah, begitu dikelola dengan manajemen yang kurang optimal dan tidak profesional. Masalah utama yang dikeluhkan sebagian besar warga, justru bukan di lokasi pembuangan atau pemusnahan sampah, melainkan ketika diangkut menggunakan truk dari Jakarta ke TPA dan TPST.
Pengangkutan sampah yang pada awal perjanjian tidak menimbulkan pencemaran, dilakukan secara sembarangan. Sampah yang dikirim masih basah dan mengandung banyak air lindi (leachete). Kondisi ini diperparah oleh banyaknya kendaraan pengangkut sampah yang bocor, terpal robek, dan simpul jaring tak utuh. Dampaknya, air lindi dengan aroma tak sedap berceceran sepanjang jalan-jalan utama, jalan tol, dan jalan kampung. Aroma tak sedap inilah yang dihirup warga metropolitan yang pengguna jalan. Warga mengeluh dan kerap menyumpahserapahi truk-truk sampah yang melintas.
Dampaknya, selama sepekan sebelum dan sesudah Idul Fitri 1412 Hijriyah, sampah tak terangkut di ibu kota negara itu. Sampah yang seharinya terhimpun 25.600 meter kubik atau setara dengan 6000 ton, menggunung ratusan ribu meter kubik. Jakarta pun bagai tertimbun sampah dengan aroma tak sedap. Penutupan TPA Bantargebang pun kembali terjadi pada awal Januari 2004.
Belajar dari kasus penutupan dan kerusuhan TPA Bantargebang, sebenarnya kerusuhan TPST Bojong sudah diperkirakan sebelumnya. Alasannya, dari berbagai anatomi yang melatarbelakanginya, memiliki kemiripan dan bahkan kesamaan.
Dalam buku yang disusun oleh Ali Anwar, Konflik Sampah Kota: Catatan Reportase Konflik Persampahan Pemerintah DKI Jakarta dengan Pemerintah Kota Bekasi dalam Menangani TPA Sampah Bantargebang (Komunitas Jurnalis Bekasi, 2003), terlihat betapa berbagai sistem dan teknologi pengolah sampah cukup ideal. Setidaknya terdapat tiga sistem, yakni dikubur (balapres), dibakar (incenerator), dan sanitary landfill (menggunakan pelapis geo tekstil).
Menurut konsepnya, semua sistem dan teknologi tersebut cukup aman dari sudut lingkungan hidup. Karya teknologi modern tersebut mulai menjadi bermasalah, begitu dikelola dengan manajemen yang kurang optimal dan tidak profesional. Masalah utama yang dikeluhkan sebagian besar warga, justru bukan di lokasi pembuangan atau pemusnahan sampah, melainkan ketika diangkut menggunakan truk dari Jakarta ke TPA dan TPST.
Pengangkutan sampah yang pada awal perjanjian tidak menimbulkan pencemaran, dilakukan secara sembarangan. Sampah yang dikirim masih basah dan mengandung banyak air lindi (leachete). Kondisi ini diperparah oleh banyaknya kendaraan pengangkut sampah yang bocor, terpal robek, dan simpul jaring tak utuh. Dampaknya, air lindi dengan aroma tak sedap berceceran sepanjang jalan-jalan utama, jalan tol, dan jalan kampung. Aroma tak sedap inilah yang dihirup warga metropolitan yang pengguna jalan. Warga mengeluh dan kerap menyumpahserapahi truk-truk sampah yang melintas.
Agar kemarahan publik yang berbuntut pada aksi penutupan dan
kerusuhan seperti di TPST Bojong dan TPA Bantargebang, Pemerintah DKI Jakarta
dan pemerintah daerah di sekelilingnya, harus segera membenahi kelemahan
manajemen persampahannya. Bahkan, karena telah menjadi persoalan besar,
persoalan sampah tidak bisa hanya ditangani secara teknis, tetapi juga secara
sosial, budaya, dan moral.
Keliru besar kalau kita menganggap sampah sekadar persoalan kecil, teknis, sekadar soal kebersihan kota belaka. Langkah itu tentu saja tidak akan terwujud tanpa didukung semua komponen stakeholder. Perbaikan manajemen persampahan harus dimulai dari tingkat yang paling dasar, yakni kesadaran kultur pejabat dana masyarakat yang bersendikan pada nilai-nilai ajaran agama yang dianut setiap keluarga.
Keliru besar kalau kita menganggap sampah sekadar persoalan kecil, teknis, sekadar soal kebersihan kota belaka. Langkah itu tentu saja tidak akan terwujud tanpa didukung semua komponen stakeholder. Perbaikan manajemen persampahan harus dimulai dari tingkat yang paling dasar, yakni kesadaran kultur pejabat dana masyarakat yang bersendikan pada nilai-nilai ajaran agama yang dianut setiap keluarga.
No comments:
Post a Comment