marquee

I'm studied Information System at Gunadarma University 2011. This Is My Blog, My story, and My Task. I can share anything, in my blog :D

Thursday, May 24, 2012

Manusia dan Penderitaan (Tulisan)


“Pamer Penderitaan”
By Julianto Simanjuntak
Penyair ternama abad pertama menulis, “Bersukacitalah dengan yang bersukacita, dan menangislah dengan mereka yang menangis.” Pernyataan  ini mengajak  kita berempati terhadap sesama, mereka yang berada di dekat kita. Menghargai sahabat atau  kerabat saat  mereka  senang ataupun  susah.
Agar kita pulih dan bertumbuh dalam kebahagiaan, penting menunjukkan emosi kita secara terbuka. Baik itu karena peristiwa yang menyenangkan atau sebaliknya. Baik  keberhasilan maupun kegagalan.
Meski demikian, saat menunjukkan kebahagiaan atau kesulitan, hendaknya disampaikan secara proporsional dan kontekstual. Artinya, kebahagiaan dan kedukaan kita  tidak untuk  ”dipamerkan”. Tidaklah bijak bila pengalaman tersebut  disampaikan secara berlebihan apalagi hanya untuk sekedar menarik simpati. Sangat penting orang tahu proses dan konteksnya, bukan hanya hasil.
“Pamer Penderitaan”
Sengaja sub judul di atas  diberi tanda kutip (”) untuk menegaskan ini hanya berupa kasus, dan tidak ada maksud menggeneralisasikan.
Penulis ingin memberikan contoh individu  yang suka “pamer” alias “narsis” dengan penderitaan hidupnya. Orang ini cenderung membesar-besarkan kesulitan hidupnya untuk tujuan tertentu, agar mendapat simpati, atau sekedar mendapatkan maaf dari seseorang,  hingga bantuan finansial.
Adalah sangat baik jika kita menceritakan secara khusus (private) kepada orang yang pantas mendengarkannya, apakah itu konselor, ulama atau sahabat yang Anda percayai. Apalagi jika masalah tersebut melibatkan orang lain. Jangan sampai hanya untuk mendapatkan simpati,  kita menjelekkan dan mempermalukan kerabat dekat kita di depan orang banyak yang tidak mengenal (konteks) keluarga kita dengan baik.
Di bawah saya berikan tiga contoh:
Kasus pertama
Sekitar 20 tahun lalu saya didatangi  seseorang yang mengaku mantan napi Nusakambangan. Dia mengaku pembunuh kelas kakap, dan bersama dia banyak penjahat besar. Dalam kesaksiannya dia bilang sudah bertobat dan mengenal banyak pendeta ternama  yang melayani dirinya. Namun di akhir cerita, dia meminta sejumlah uang untuk pulang kampung. Saya trenyuh mendengar kesaksiannya, lalu   memberikan uang meski tidak banyak sebab saya baru saja bekerja saat itu. Dia menerima uang itu lalu pergi. Setelah itu saya langsung menelpon nama yang dia sempat sebutkan. Kenalan tadi mengingatkan agar saya lain kali berhati-hati, karena orang tersebut pembohong dan sudah banyak korban dustanya.
Kasus kedua
Di salah satu gereja yang pernah saya kunjungi mendadak seorang ibu mendekati saya dan berkeluh kesah dengan penyakit anaknya. Dia mengaku sudah bercerai, ditinggal suaminya. Dia memamerkan kesulitannya kepada saya,  yang sama sekali tidak mengenal latar belakang hidupnya. Akhirnya salah satu aktifis di sana memotong percakapan kami, sebab dia mengenal baik ibu tersebut sebagai orang yang suka meminta bantuan ke sana ke mari. Dia menganjurkan ibu tersebut  menjumpai pengurus diakonia atau sosial gereja yang bertugas memberikan bantuan sosial.
Tim diakonia itu sengaja dibentuk, supaya jemaat yang berkesusahan  tidak meminta ke sana dan ke mari. Kalau ada anggota jemaat yang membutuhkan bantuan mereka dapat menghubungi kelompok yang sudah ditunjuk.  Sebab ada saja yang menjadi korban, khususnya mereka yang lemah dengan emosinya, yakni merasa bersalah jika tidak  menolong orang susah di depannya. Mereka mengidap “savior syndrome”, orang yang merasa nggak enak hati dan dibayangi rasa bersalah jika tidak membantu. Padahal mereka tidak sadar, mereka sedang “diperalat”. Tidak sadar sedang membantu  si pendusta, yang biasa berbohong ke sana-ke mari lewat kemiskinan dan kesulitan  yang didramatisasi.
Kasus ketiga
Kisah tentang seseorang yang usai mendengarkan kotbah lalu “pamer” dan mengaku dirinya sudah berzinah di depan orang lain. Namun konteks kepribadian dan  proses perzinahan itu tidak diceritakan. Sistem perkawinannya tidak jelas. Apalagi dia menceritakan kejelekan istrinya di depan orang banyak sebagai alasan dia berselingkuh.
Lalu orang tersebut pulang untuk meminta belas kasihan istri dan mengatakan, “Ma, saya sudah mengaku dosa kepada Tuhan dan orang banyak. Sekarang saya minta maaf kepada kamu. Maafkan  saya atas perselingkuhan ini.” Tentu istrinya merasa heran sekali.
Pria ini  berpikir, jika orang lain dan pendeta  mudah memaafkan dan menerima dirinya, maka istrinya pun pantas mengampuninya (tanpa syarat). Tentu saja tidak sesederhana itu. Orang  yang tidak mengenalnya mudah menerima pernyataan penyesalannya, bahkan  mengaguminya sebagai suami yang jujur. Namun bagaimana dengan istri yang sangat mengenalnya? Tentu tidak mudah. Dia butuh waktu dan proses.  Dia mengenal suaminya sebagai seorang yang impulsif: mudah bikin kesalahan lalu  minta maaf, lalu melakukan lagi, berulang-ulang. Satu hal lagi, istri merasa tidak  siap karena banyak orang yang sama sekali tidak mereka kenal baik mengetahui  masalah rumah tangga mereka. Ini bisa sangat  menghancurkan (harga) dirinya. Tentu saja jalan terbaik, pertama-tama mendatangi seorang terapis untuk membicarakan dan mencari solusinya. Bukan “pamer” pengakuan di depan orang banyak, tetapi akhirnya tidak ada perubahan hidup sama sekali.
Dalam beberapa kasus pernah terungkap di media beberapa LSM yang diduga memanipulasi penderitaan korban bencana dan memanfaatkannya untuk kepentingan diri sendiri. Bantuannya dikorupsi, dan penderitaan korban dilebih-lebihkan untuk mendapat simpati para donatur.
Disamping ada yang cenderung “pamer penderitaan” ada juga individu yang suka “pamer kebahagiaan” dengan tujuan tertentu. Contoh tentang “pamer kebahagiaan” bisa baca disini
Penutup
Sekali lagi tulisan ini  lebih bersifat “kasus” dan tidak ada  maksud menggeneralisasi.
Saya berharap lewat  catatan ini kita lebih mawas diri. Jangan sampai  kita jatuh dalam “pamer” kesulitan hidup dan membesar-besarkannya di depan orang banyak dengan tujuan tertentu. Jangan sampai tergoda memanfaatkan kelemahan orang dengan curhat kita agar mendapatkan simpati dan bantuan, namun akhirnya membuat kita tidak bertumbuh. Jangan pula memperalat penderitaan orang lain yang kena musibah untuk mendapat keuntungan pribadi dari donatur.
Sangat baik jika kita menceritakan secara khusus (pribadi) kepada orang yang pantas mendengarkannya, apakah itu konselor, rohaniwan atau sahabat yang Anda percayai. Apalagi jika kasus tersebut melibatkan orang lain. Jangan sampai hanya untuk mendapatkan simpati,  kita menjelekkan dan mempermalukan kerabat dekat kita. Ini memalukan sekaligus memilukan.
Akhirnya, kebahagiaan sejati adalah hidup yang mengalami penderitaan dan kesenangan secara seimbang. Jangan lupa bersyukur saat senang, janganlah kita bersungut saat susah. Diberkatilah mereka yang mengandalkan Tuhan dan menaruh harapan kepadaNya.
Dari Buku ‘Seni Pemulihan Diri” ( Edisi Revisi, PELIKAN)
Follow Twitter @JuliantoWita

Sumber : http://kesehatan.kompasiana.com/kejiwaan/2012/05/11/pamer-penderitaan/

No comments:

Post a Comment