“Pamer Penderitaan”
By Julianto Simanjuntak
Penyair ternama abad pertama menulis,
“Bersukacitalah dengan yang bersukacita, dan menangislah dengan mereka yang
menangis.” Pernyataan ini mengajak kita berempati terhadap sesama,
mereka yang berada di dekat kita. Menghargai sahabat atau kerabat saat
mereka senang ataupun susah.
Agar kita pulih dan bertumbuh dalam kebahagiaan,
penting menunjukkan emosi kita secara terbuka. Baik itu karena peristiwa yang
menyenangkan atau sebaliknya. Baik keberhasilan maupun kegagalan.
Meski demikian, saat menunjukkan kebahagiaan atau
kesulitan, hendaknya disampaikan secara proporsional dan kontekstual. Artinya,
kebahagiaan dan kedukaan kita tidak untuk ”dipamerkan”. Tidaklah
bijak bila pengalaman tersebut disampaikan secara berlebihan apalagi
hanya untuk sekedar menarik simpati. Sangat penting orang tahu proses dan
konteksnya, bukan hanya hasil.
“Pamer Penderitaan”
Sengaja sub judul di atas diberi tanda
kutip (”) untuk menegaskan ini hanya berupa kasus, dan tidak ada maksud
menggeneralisasikan.
Penulis ingin memberikan contoh individu
yang suka “pamer” alias “narsis” dengan penderitaan hidupnya. Orang ini
cenderung membesar-besarkan kesulitan hidupnya untuk tujuan tertentu, agar
mendapat simpati, atau sekedar mendapatkan maaf dari seseorang, hingga
bantuan finansial.
Adalah sangat baik jika kita menceritakan secara
khusus (private) kepada orang yang pantas mendengarkannya, apakah itu konselor,
ulama atau sahabat yang Anda percayai. Apalagi jika masalah tersebut melibatkan
orang lain. Jangan sampai hanya untuk mendapatkan simpati, kita
menjelekkan dan mempermalukan kerabat dekat kita di depan orang banyak yang
tidak mengenal (konteks) keluarga kita dengan baik.
Kasus pertama
Sekitar 20 tahun lalu saya didatangi
seseorang yang mengaku mantan napi Nusakambangan. Dia mengaku pembunuh
kelas kakap, dan bersama dia banyak penjahat besar. Dalam kesaksiannya dia
bilang sudah bertobat dan mengenal banyak pendeta ternama yang melayani
dirinya. Namun di akhir cerita, dia meminta sejumlah uang untuk pulang kampung.
Saya trenyuh mendengar kesaksiannya, lalu memberikan uang meski tidak
banyak sebab saya baru saja bekerja saat itu. Dia menerima uang itu lalu pergi.
Setelah itu saya langsung menelpon nama yang dia sempat sebutkan. Kenalan tadi
mengingatkan agar saya lain kali berhati-hati, karena orang tersebut pembohong
dan sudah banyak korban dustanya.
Kasus kedua
Di salah satu gereja yang pernah saya kunjungi
mendadak seorang ibu mendekati saya dan berkeluh kesah dengan penyakit anaknya.
Dia mengaku sudah bercerai, ditinggal suaminya. Dia memamerkan kesulitannya
kepada saya, yang sama sekali tidak mengenal latar belakang hidupnya.
Akhirnya salah satu aktifis di sana memotong percakapan kami, sebab dia
mengenal baik ibu tersebut sebagai orang yang suka meminta bantuan ke sana ke
mari. Dia menganjurkan ibu tersebut menjumpai pengurus diakonia atau
sosial gereja yang bertugas memberikan bantuan sosial.
Tim diakonia itu sengaja dibentuk, supaya jemaat
yang berkesusahan tidak meminta ke sana dan ke mari. Kalau ada anggota
jemaat yang membutuhkan bantuan mereka dapat menghubungi kelompok yang sudah
ditunjuk. Sebab ada saja yang menjadi korban, khususnya mereka yang lemah
dengan emosinya, yakni merasa bersalah jika tidak menolong orang susah di
depannya. Mereka mengidap “savior syndrome”, orang yang merasa nggak enak hati
dan dibayangi rasa bersalah jika tidak membantu. Padahal mereka tidak sadar,
mereka sedang “diperalat”. Tidak sadar sedang membantu si pendusta, yang
biasa berbohong ke sana-ke mari lewat kemiskinan dan kesulitan yang
didramatisasi.
Kasus ketiga
Kisah tentang seseorang yang usai mendengarkan
kotbah lalu “pamer” dan mengaku dirinya sudah berzinah di depan orang lain.
Namun konteks kepribadian dan proses perzinahan itu tidak diceritakan.
Sistem perkawinannya tidak jelas. Apalagi dia menceritakan kejelekan istrinya
di depan orang banyak sebagai alasan dia berselingkuh.
Lalu orang tersebut pulang untuk meminta belas
kasihan istri dan mengatakan, “Ma, saya sudah mengaku dosa kepada Tuhan dan
orang banyak. Sekarang saya minta maaf kepada kamu. Maafkan saya atas
perselingkuhan ini.” Tentu istrinya merasa heran sekali.
Pria ini berpikir, jika orang lain dan
pendeta mudah memaafkan dan menerima dirinya, maka istrinya pun pantas
mengampuninya (tanpa syarat). Tentu saja tidak sesederhana itu. Orang
yang tidak mengenalnya mudah menerima pernyataan penyesalannya, bahkan
mengaguminya sebagai suami yang jujur. Namun bagaimana dengan istri yang
sangat mengenalnya? Tentu tidak mudah. Dia butuh waktu dan proses. Dia
mengenal suaminya sebagai seorang yang impulsif: mudah bikin kesalahan lalu
minta maaf, lalu melakukan lagi, berulang-ulang. Satu hal lagi, istri
merasa tidak siap karena banyak orang yang sama sekali tidak mereka kenal
baik mengetahui masalah rumah tangga mereka. Ini bisa sangat
menghancurkan (harga) dirinya. Tentu saja jalan terbaik, pertama-tama
mendatangi seorang terapis untuk membicarakan dan mencari solusinya. Bukan “pamer”
pengakuan di depan orang banyak, tetapi akhirnya tidak ada perubahan hidup sama
sekali.
Dalam beberapa kasus pernah terungkap di media
beberapa LSM yang diduga memanipulasi penderitaan korban bencana dan
memanfaatkannya untuk kepentingan diri sendiri. Bantuannya dikorupsi, dan
penderitaan korban dilebih-lebihkan untuk mendapat simpati para donatur.
Disamping ada yang cenderung “pamer penderitaan”
ada juga individu yang suka “pamer kebahagiaan” dengan tujuan tertentu. Contoh
tentang “pamer kebahagiaan” bisa baca disini
Penutup
Sekali lagi tulisan ini lebih bersifat
“kasus” dan tidak ada maksud menggeneralisasi.
Saya berharap lewat catatan ini kita lebih mawas diri. Jangan sampai kita jatuh dalam “pamer” kesulitan hidup dan membesar-besarkannya di depan orang banyak dengan tujuan tertentu. Jangan sampai tergoda memanfaatkan kelemahan orang dengan curhat kita agar mendapatkan simpati dan bantuan, namun akhirnya membuat kita tidak bertumbuh. Jangan pula memperalat penderitaan orang lain yang kena musibah untuk mendapat keuntungan pribadi dari donatur.
Saya berharap lewat catatan ini kita lebih mawas diri. Jangan sampai kita jatuh dalam “pamer” kesulitan hidup dan membesar-besarkannya di depan orang banyak dengan tujuan tertentu. Jangan sampai tergoda memanfaatkan kelemahan orang dengan curhat kita agar mendapatkan simpati dan bantuan, namun akhirnya membuat kita tidak bertumbuh. Jangan pula memperalat penderitaan orang lain yang kena musibah untuk mendapat keuntungan pribadi dari donatur.
Sangat baik jika kita menceritakan secara khusus
(pribadi) kepada orang yang pantas mendengarkannya, apakah itu konselor,
rohaniwan atau sahabat yang Anda percayai. Apalagi jika kasus tersebut
melibatkan orang lain. Jangan sampai hanya untuk mendapatkan simpati,
kita menjelekkan dan mempermalukan kerabat dekat kita. Ini memalukan
sekaligus memilukan.
Akhirnya, kebahagiaan sejati adalah hidup yang
mengalami penderitaan dan kesenangan secara seimbang. Jangan lupa bersyukur
saat senang, janganlah kita bersungut saat susah. Diberkatilah mereka yang
mengandalkan Tuhan dan menaruh harapan kepadaNya.
Dari Buku ‘Seni Pemulihan Diri” ( Edisi Revisi,
PELIKAN)
Follow Twitter @JuliantoWita
Follow Twitter @JuliantoWita
Sumber : http://kesehatan.kompasiana.com/kejiwaan/2012/05/11/pamer-penderitaan/
No comments:
Post a Comment