“Pamer Penderitaan”
By Julianto Simanjuntak
Penyair ternama abad pertama menulis,
“Bersukacitalah dengan yang bersukacita, dan menangislah dengan mereka yang
menangis.” Pernyataan ini mengajak kita berempati terhadap sesama,
mereka yang berada di dekat kita. Menghargai sahabat atau kerabat saat
mereka senang ataupun susah.
Agar kita pulih dan bertumbuh dalam kebahagiaan,
penting menunjukkan emosi kita secara terbuka. Baik itu karena peristiwa yang
menyenangkan atau sebaliknya. Baik keberhasilan maupun kegagalan.
Meski demikian, saat menunjukkan kebahagiaan atau
kesulitan, hendaknya disampaikan secara proporsional dan kontekstual. Artinya,
kebahagiaan dan kedukaan kita tidak untuk ”dipamerkan”. Tidaklah
bijak bila pengalaman tersebut disampaikan secara berlebihan apalagi
hanya untuk sekedar menarik simpati. Sangat penting orang tahu proses dan
konteksnya, bukan hanya hasil.
“Pamer Penderitaan”
Sengaja sub judul di atas diberi tanda
kutip (”) untuk menegaskan ini hanya berupa kasus, dan tidak ada maksud
menggeneralisasikan.
Penulis ingin memberikan contoh individu
yang suka “pamer” alias “narsis” dengan penderitaan hidupnya. Orang ini
cenderung membesar-besarkan kesulitan hidupnya untuk tujuan tertentu, agar
mendapat simpati, atau sekedar mendapatkan maaf dari seseorang, hingga
bantuan finansial.
Adalah sangat baik jika kita menceritakan secara
khusus (private) kepada orang yang pantas mendengarkannya, apakah itu konselor,
ulama atau sahabat yang Anda percayai. Apalagi jika masalah tersebut melibatkan
orang lain. Jangan sampai hanya untuk mendapatkan simpati, kita
menjelekkan dan mempermalukan kerabat dekat kita di depan orang banyak yang
tidak mengenal (konteks) keluarga kita dengan baik.
Di bawah saya berikan tiga contoh: